EFEKTIVITAS PENEMPATAN LULUSAN DIKLATPIM

Oleh: Ir. H. Akhmad Sirodz, MP*)

Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
Di dalam birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bila seseorang akan dan atau dipromosikan memimpin/menduduki jabatan tertentu diharuskan mengikuti diklat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan PNS.
Adapun instansi yang terkait dalam penyelenggaraan diklat PNS adalah: Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai instansi pengendali yang secara fungsional bertanggung jawab atas pengembangan dan pengawasan standar kompetensi jabatan serta pengendalian pemanfaatan lulusan diklat dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai Instansi Pembina, yang secara fungsional hanya bertanggung jawab atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan diklat.
Tujuan diklat adalah meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadaian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi. Dimana sasaran akhirnya adalah untuk mewujudkan PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing.
Penempatan lulusan
Sedangkan diklat kepemimpinan bertujuan untuk mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan struktural.
Khususnya Diklatpim Tingkat II, dari hasil evaluasi penelitian BKN di berbagai provensi tahun 2003, berdasarkan kelompok umur responden lulusan Diklatpim Tingkat II dan belum menduduki jabatan Eselon II pada saat penelitian menunjukkan kelompok umur antara 40-44 tahun berjumlah 4 orang (16%), kelompok umur 45-49 tahun berjumlah 10 orang (40%), dan kelompok umur antara 50-54 tahun yang merupakan jumlah terbesar responden berjumlah 11 orang (44%).
Terdapat berbagai alasan mengapa para pegawai yang telah mengikuti Diklatpim Tingkat II tidak langsung menduduki jabatan Eselon II atau harus menunggu untuk waktu yang cukup lama. Alasan yang paling menonjol adalah disebabkan jabatan Eselon II di Daerah pada saat itu cukup terbatas atau tidak ada lowongan jabatan untuk mendudukinya. Adanya masa tunggu yang cukup lama, bagi para pegawai yang telah mengikuti Diklatpim Tingkat II hanya menjadi beban psikologis atau beban moral dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya.
Menurut data terakhir bahwa lulusan Diklatpim Tingkat II sampai sekarang terdapat lebih kurang 500 orang dan masih banyak yang belum menduduki jabatan eselon II, bahkan beberapa ada yang telah mendekati usia pensiun. Padahal biaya untuk setiap peserta Diklatpim II bukanlah kecil.
Melihat data dan kondisi lulusan Diklatpim II tersebut di atas, memperlihatkan tidak efektifnya perencanaan kepegawaian (employment planning), khususnya Diklatpim II.
Menurut Simamora (1999), komponen kunci dari perencanaan sumberdaya manusia adalah penentuan tipe sumberdaya manusia yang akan dibutuhkan organisasi dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Kemudian perencanaan kepegawaian juga merupakan identifikasi atau penentuan jumlah sumberdaya manusia yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi pada masa yang akan datang. Sehingga untuk membuat rencana kepegawaian untuk pimpinan maupun sumberdaya manusia lainnya harus memperkirakan suplai dan permintaan terhadap sumberdaya manusia, serta rencana kepegawaian tersebut terkait erat dengan rencana strategik dari organisasi itu sendiri.
Selain itu dalam penempatan lulusan Diklatpim II masih kental nuansa KKN atau like or dislike dari para pemegang kebijakan, bukan didasarkan atas kompetensi dan kelayakan. Bahkan di suatu daerah dalam pengisian jabatan eselon II didasarkan pada mendukung atau tidaknya pada saat pilkada (tim sukses). Sehingga dalam menempatkan seseorang tidak lagi berdasarkan the right man on the right place tapi berdasarkan kedekatan dengan pucuk pimpinan, dalam hal ini kepala daerah. Sedangkan pepatahpun menyatakan “serahkan suatu pekerjaan kepada yang bukan akhlinya, tunggu kehancurannya” (Al-hadist).
Kalau sudah seperti ini, kapan kita akan mewujudkan good governance, good goverment dan clean government, serta bebas KKN. Wallahua’lam bishshawab.

*) Widyaiswara PKP2A III Lembaga Administrasi Negara, Samarinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar